Pola tanam tumpangsari adalah salah suatu teknik pola tanam yang dari segi usahatani mampu memberikan keuntungan ekonomi dan mengurangi risiko kegagalan panen sehingga modal petani dapat terjaga dan lebih meningkat (Nurindah dan Sujak, 2006). Gomez dan Gomez (1983) mendefinisikan tumpanggilir atau tumpangsari (relay cropping) sebagai menanam dua atau lebih tanaman secara bersama-sama pada sebidang lahan dimana tanaman kedua ditanam setelah tanaman pertama berbunga. Penanaman dengan sistem tumpanggilir telah lama dilakukan petani, khususnya yang mempunyai lahan relatif sempit sebagai usaha untuk mengintensifkan penanaman baik menurut ruang maupun waktu, menganekaragamkan bahan pangan dan pakan, mengurangi resiko kegagalan panen, meningkatkan pendapatan petani dan memperluas lapangan pekerjaan.
Sistim pertanaman tumpangsari, umumnya terdapat pada lahan yang luasnya terbatas. Pemilihan jenis tanaman sela yang tepat akan mempengaruhi pola tanam tumpangsari. Selain memanfaatkan lahan kosong di sela-sela tanaman utama, pola tumpangsari juga mempunyai beberapa keuntungan, seperti halnya pemilihan tanaman sela jenis kacang-kacangan memiliki keuntungan diantaranya lebih efisien dalam penggunaan tenaga kerja, pemanfaatan lahan maupun penyerapan sinar matahari dan populasi tanaman dapat diatur sesuai dengan yang dikehendaki. Keuntungan yang lain adalah tumpangsari mempunyai peluang produksi lebih besar apabila satu jenis tanaman yang diusahakan mengalami kegagalan, dapat menekan serangan OPT dan menstabilkan kesuburan tanah (Sarman, 2001).
Penyebab rendahnya produksi suatu tanaman budidaya salah satu faktor penyebabnya ialah tumbuhnya gulma. Tumbuhnya gulma di sekitar tanaman budidaya memang tidak bisa dihindarkan. Menurut Alfandi dan Dukat (2007), penurunan hasil yang diakibatkan gulma dapat mencapai 50% oleh karena itu usaha untuk meningkatkan hasil produksi tanaman budidaya melalui pengendalian gulma secara efektif dan efisien perlu dilakukan.
Penelitian yang dilakukan Pasao dkk pada tahun 2008 menunjukkan hasil bahwa terjadi pergesaran komposisi gulma oleh sistem pertanaman tumpangsari. nilai SDR gulma rumputan semakin rendah dan gulma tekian tidak muncul lagi, namun gulam daun lebar bertambah populasinya. Hal ini dikarenakan gulma daun lebar lebih adaptif terhadap pengaruh naungan.Gulma daun lebar memiliki permukaan daun yang lebih lebar, sehingga lebih banyak mendapatkan kontak dengan matahari guna proses fotointesisnya.
Sistem pertanaman tumpangsari signifikan menurunkan total kerapatan gulma dibandingkan sistem pertanaman monokultur. Pada sistem monokultur gulma cenderung lebih cepat berkembang biak karena minimya faktor kompetisi, namun pada saat gulma berada di sistem pertanaman monokultur, faktor kompetisi berupa cahaya sangat mempengaruhi pertumbuhan awal gulma, sehingga biji gulma atau gulma muda tidak sempat berkembang biak kembali. Pada komposisi populasi gulma juga terdapat perbedaan antar sistem penamaan. Sistem penanaman monokuktur memberikan populasi gulma yang lebih tinggi daripada ketiga sistem pertanaman tumpangsari, baik untuk jenis gulam daun lebar, semusim maupun tahunan. Hal ini menunjukkan bahwa sistem pertanaman tumpangsari efektif terhadap beberapa jenis atau kelompok gulma. Gulma daun lebar tampak mendominasi pertanaman tumpangsari daripada gulma jenis gulma semusim maupun tahunan, hal ini karena gulma daun lebar yang lebih tahan terhadap naungan.
DAFTAR PUSTAKA
Demajnova, E. M. Macak, I. Dalovic, F. Mjernik, S. Tyr and J. Smatana. 2009. Effects of tillage system and crop roation on weed density, weed species somposition and wees biomass in Maize. Agronomy Research 7 : 785-792.
Gomez, A,A, and K,A, Gomez, 1983, Multiple Croping in The Humid Tropics.
Pasau, P. P. Yudono dan A. Syukur. 2008. Pergeseran komposis gulma pada perbedaan proporsi jagung dan kacang tanah dalam tumpangsari pada regosol Sleman. Jurnal Ilmu Pertanian 2 : 60-78. Rajawali Press, Jakarta.
No comments:
Post a Comment