a. Gambaran Hamparan
Hamparan pertanaman yang berada di daerah Karanganom pada dasarnya dibatasi oleh jalan-jalan yang memutari hamparan, baik jalan raya beraspal ataupun jalan-jalan desa yang masih berupa jalan tanah serta semen. Saluran irigasi pada hamparan masih berupa saluran tanah yang belum disemen. Topografi hamparan berupa dataran yang relatif rata dan tidak bergelombang. Tanah berupa tanah berat yang berjenis vertisol dan memiliki perbedaan kondisi yang sangat mencolok pada saat musim kemarau dan musim penghujan. Pada musim penghujan, tanah akan banyak tergenang dan harus memiliki drainase yang baik agar pertanaman dapat tumbuh dan memberikan hasil yang optimal. Pada musim kemarau, tanah akan retak dan pecah-pecah sehingga harus diberi irigasi agar mejadi sesuai untuk pertumbuhan akar tanaman.
b. Komoditas Pertanian
Pada saat pengamatan dilakukan, terdapat dua jenis pertanaman yang diusahakan. Pertanaman basah dengan komoditas padi dan pertanaman kering dengan komoditas jagung, ketela rambat, dan kacang panjang. Terdapat dua macam pengolahan tanah pada hamparan yang menjadi tempat pengamatan. Pada lahan basah yang ditanami padi, pengolahan tanah dilakukan dengan menggunakan traktor sementara pada pertanaman kering, pengolahan tanah hanya menggunakan cangkul. Hal ini hanya dipengaruhi oleh luasan lahan yang diolah. Pertanaman padi memiliki luasan yang lebih sehingga lebih efisien jika menggunakan traktor, sementara pada pertanaman palawija hanya menggunakan cangkul karena luasannya relatif lebih sempit.
Padi dapat ditanam maksimal dua kali dalam setahun. Akan tetapi, pada musim kedua, masyarakat petani sudah banyak yang tidak menanam padi. Walaupun terdapat saluran irigasi teknis, air terkadang tidak mencukupi untuk pertanaman padi pada musim kedua. Oleh karena itu, masyarakat tidak mau mengambil resiko dan memilih tanaman palawija ataupun sayuran yang membutuhkan air lebih sedikit. Pada musim ketiga, hampir dapat dipastikan bahwa semua lahan pada hamparan ditanami dengan tanaman palawija khususnya jagung.
c. Sosial Ekonomi
Pada awalnya, hamaparan pertanaman digunakan untu usaha budidaya tembakau. Secara kualitas dan kuantitas, hasil tembakau pada saat itu tergolong tinggi. Akan tetapi, karena pemasaran tembakau tersendat dan akhirnya berhenti, usaha tani tembakau juga dihentikan dan digantikan oleh pertanaman padi dan palawija.
Pada musim hujan pertama, dengan menanam padi, petani mampu memperoleh pendapatan sebesar 24 juta setiap hektarnya. Hasil tersebut kemudian berkurang secara dastis pada musim kedua, yaitu sebesar 12 juta setiap hektar. Pada musim kedua, petani lebih memilih menanam jagung karena memiliki hasil 24 juta setiap hektarnya. Pada musim ketiga, hampir semua petani menanam jagung dan mendapatkan penghasilan sebesar 5 juta setiap hektar. Pada musim kedua, petani masih ada yang menanam padi walaupun hasil jagung lebih menguntungkan sedikit memberikan gambaran bahwa usaha tani subsisten lah yang menjadi motif usaha tani para petani. Petani kurang begitu peduli dengan pendapatan berupa uang dan memilih untuk mendapatkan lebih banyak bahan makanan pokok yang berupa beras.
Terdapat kelompok tani yang berada di sekitar hamparan. Kelompok tani lebih berfungsi sebagai fasilitator untuk mendapatkan pupuk bersubsidi daripada mengorganisir anggota kelompoknya untuk lebih meningkatkan kemampuan dalam usaha budidaya tanaman. Tidak ada pengaturan jadwal tanam yang jelas dan tidak ada pengaturan saluran irigasi yang baik sehingga air terkadang menjadi sangat berlmpah pada musim penghujan dan benar-benar kering pada musim kemarau.
Kesadaran petani akan bahaya penggunaan bahan kimia untuk pertanian semakin tinggi. Petani merasa semakin hari semakin tidak subur tanah yang selalu diberi pupuk kimia. Petani sudah banyak yang mulai menggunakan pupuk kompos dan pupuk kandang untuk memberi nutrisi tanaman yang dibudidayakan. Sayangnya, kesadaran akan pentingnya aspek ekologi ini tidak dengan cepat ditanggapi pihak-pihak terkait sehingga banyak petani yang kesulitan mendapatkan pupuk kompos atau pupuk kandang. Dengan kesulitan yang dihadapi ini, petani akhirnya terpaksa menggunakan kembali pupuk-pupuk kimia yang sebenarnya telah mereka anggap berbahaya. Dan jika sudah demikian, banyak petani yang berujar “lebih baik makan makanan yang berbahaya daripada tidak makan sama sekali”.
No comments:
Post a Comment